Oleh : Ferdian A Majni
Matahari pagi mulai mengintip di belahan timur, setelah sepekan tak menyapa kampung Kumbang. Disudut kampung terlihat sebuah gubuk berdinding rumbia dan beralas tanah. “Maaak…, aku ingin kawin” teriak Agam. Mak Saudah bergegas menunju sebuah bilik, terlihat si Agam masih acak-acakan dengan selimut lusuhnya. “Kamu mimpi lagi nak” ujar Mak. Sudah dua hari ini, si Agam berteriak minta kawin.
Mak mengerti akan keinginan si Agam, anak tunggalnya. “Gadis mana lagi yang harus kita lamar” tanya Mak. Belasan gadis kampung Kumbang menolak lamaran si Agam. Bahkan si Minah yang di akui Agam sebagai pacarnya. Memilih Ismail, teman kecil Agam yang sukses di Malaysia. Tak ada yang mau menjadi istri si Agam, pemuda miskin yang berkerja serabutan. Mak tak bisa berbuat apa-apa, dia hanya seorang buruh disawah, yang mendapat upah sebambu beras untuk makan esok hari. Tak ada warisan suaminya yang bisa di jadikan uang, untuk memudahkan hajatan si Agam.
Emas untuk mahar nikahnya telah dikumpulkan Agam, walau masih sangat kurang, Agam tak pantang menyerah, setiap hari ia terus bekerja, memeras keringat dan banting tulang. Walau upah yang diterimahnya tidaklah sepadan. Pernah terbersit di hatinya, untuk merantau ke Malaysia, berharap menjadi sukses seperti Ismail. Apalagi setelah Agam di kunjungi Ismail, yang menjanjikannya pekerjaan di malaysia. ” Gam, aku punya bisnis untukmu, kamu akan mendapat upah besar bila ikut denganku,” ajak Ismail.
Setelah melaksanakan sholat insya, ia merebahkan tubuhnya di atas sajadah. Agam memikirkan tawaran Ismail. Ia membayangkan kesuksesan yang akan diraihnya. “Bila aku kaya, pasti ada yang akan menerima lamaranku,” pikirnya. Agam tersenyum-senyum sendiri, tak terasa ia terlelap di sana.
Dibalik gubuk tua itu, Mak sedang bergelut dengan pekerjaannya, bila tak ada musim turun sawah, Mak menganyam tikar, ia bisa membuat beberapa kerajinan tangan. Namun dengan usia yang semakin senja, tangan cekatan itu sudah mulai lambat. Ia juga sudah sering sakit-sakitan. Pernah suatu hari Mak ditemukan warga, tak sadarkan diri di tengah sawah. Padahal hari itu Agam berniat menceritakan keinginannya merantau, agar ia mendapatkan uang yang lebih banyak untuk membeli perlengkapan nikahnya. Namun ia tak tega meninggalkan perempuan tua itu, apalagi sekarang Mak sedang sakit.
Setelah beberapa bulan berlalu, Agam menjumpai Mak yang sedang memasak di dapur, di balik asap yang menutup tubuh Mak. “Mak, aku ingin merantau, aku dapat tawaran pekerjaan dari Ismail” cerita Agam, mengawali maksudnya. “Jadi kamu akan ke Malaysia?” Tanya Mak. Belum juga Agam menjawab. “Dan akan meninggalkan Mak sendiri,” sambungnya. Tak terasa beling-beling mata Mak sudah berair, Agam mendekat dan menyekanya pelan. “Bila Mak tidak mengizinkan, aku tidak pergi juga,” ujar Agam, tangan kekar Agam memeluk Mak. “Agam tidak akan meninggalkan Mak,” bisik Agam di ujung pelukannya.
Tak ada yang bisa diharapkan di kampung ini, tak ada tempat untuk kesuksesan. Buktinya, tak seorang gadis pun yang mau dilamar Agam. Ia di anggap pemalas, bahkan mereka seakan menghina kemiskinannya. Agam baru saja pulang dari ladang, dengan peluh masih menyelimutinya. Ia duduk sejenak, menemani Mak yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya. “Apa kamu masih ingin merantau ke Malaysia” tanya Mak, membuka pembicaraan. Agam mengerutkan keningnya. “Mak, berikan izin untukmu, nak,” Mak melihat ke arah Agam. Tersungging seulas senyuman dari bibir Agam, gigi berkarat itu menari-nari di sana. “Benarkah, Mak?” tanya Agam setengah berteriak, menyakinkan pendengarannya. Mak mengangguk pelan tanpa menjawabnya lagi. Agam berpaling, meninggalkan Mak dengan hati berbunga-bunga, seakan-akan si Minah menjadi istrinya.
Tiba saatnya dimana Agam harus berangkat, meninggalkan kampung Kumbang dan juga Mak. Agam sudah melengkapi semua persyaratan perjalanannya menuju Negeri seberang. Tinggal berangkat dan menjumpai Ismail yang telah menunggunya di Pelabuhan. Suasana haru menyelimuti gubuk itu, badai tangisan pecah. Agam memeluk tubuh renta yang ada di depannya itu, ia sujud dan bersimpuh di kaki Mak. “Mak, Agam mohon restunya, Agam akan merantau, mencari rezeki,” isak Agam. “Carilah rezeki yang halal, Allah selalu melindungimu dan jangan lupa sholat disana nak,” ujar Mak menasehati Agam. “Tak ada yang bisa Mak berikan untuk bekal perjalanan mu, hanya doa dari Mak untuk keselamatan dan kebahagian mu di rantau” sambung Mak, mengakhiri tangisannya.
Hampir genap dua tahun Agam di Malaysia, baginya tak butuh waktu lama menjadi kaya, kini Agam merasakannya. Memang Malaysia adalah surga ringgit. Agam sangat berterima kasih pada Ismail teman kecilnya itu. Namun saat ini mereka menjadi buronan polisi diraja Malaysia. Mungkin Agam sudah lupa dengan petuah dan nasehat Maknya dulu. Ia terjerumus dalam bisnis haram. Agam menjadi tangan kanannya badar narkoba. Agam telah larut dalam kehidupan malam.
Sepekan sebelum pulang. Mak menerima surat dari Agam, ia mengabarkan perihal kepulanganya. Dengan bahagia, Agam menceritakan kesuksesannya di Malaysia. Mak meneteskan airmata dan bersyukur untuk kesuksesan anaknya.
***
Agam dan Ismail telah sampai di pelabuhan. “Kita akan menyeberang lautan ini dan mendarat di Kampung,” ujar Ismail, dalam kebisingan pelabuhan. Namun tak di sangka, gerak-gerik mereka telah diperhatikan beberapa pasang mata milik aparat kepolisian Malaysia. Puluhan polisi telah dikerahkan ke sana, untuk mencegat pelarian bandar narkoba Malaysia-Indonesia, mereka pemain kelas kakap. Ketika langkah kaki Agam dan Ismail hendak menyeberang batasan pelabuhan. “Jangan bergerak, angkat tangan kalian” puluhan polisi mengarahkan moncong pistolnya ke arah mereka.
Di kampung Kumbang, Mak menunggu kepulangan si Agam, ia lebarkan pintu gubuknya untuk menyambut kedatangan si Agam. Dan Mak ingin memperkenalkan si Inong padanya, seorang gadis solehah yang akan di pinang dan menjadi istri untuk si Agam.[]
0 komentar:
Posting Komentar