. Catatan Polem
animated gif how to

Jumat, 08 Maret 2013

Dedikasi Profesor Perempuan Pertama Milik Unsyiah


Oleh Ferdian A Majni

“Sepanjang sejarah Unsyiah baru kali ini memiliki guru besar perempuan, Profesor Cut Zahri Harun dan Profesor Murniati adalah guru besar pertama yang dimiliki Unsyiah,” kata Rektor Unsyiah Prof. Darni Daud, Senin  21 Mei 2011 lalu seperti diberitakan portal okezone.com

Berbicara tentang pendidikan. Dewasa ini, peran perempuan turut andil dalam kemajuan dunia pendidikan.  Baiknya di Indonesia sendiri atau luar negeri. Nah, dalam Peringatan Hari Perempuan Sedunia, yang selalu dikenang pada 8 Maret tiap tahunnya.  Pun demikian, saya berkesempatan mewawancarai seorang perempuan yang sangat peduli tehadap pendidikan, bahkan sebagian hidupnya didedikasikan dalam bidang pendidikan.

Di gedung pascasarjana Unsyiah, sosok perempuan paruh baya itu dengan ramah mempersilahkan saya. Dengan tutur bahasa lembut, ia memperkenal diri, namanya Prof Dr Dra Murniati AR MPd. Saat ini menjabat sebagai ketua Prodi S2 Magister Administrasi Pendidikan.

Walau usianya semakin lanjut, aura kecantikan masih terlihat di wajahnya. Penampilannya sangat anggun dan berwibawa, siapa sangka bahwa ia adalah peraih gelar profesor perempuan di Unsyiah.
Ibu Mur, begitula ia sering di sapa oleh mahasiswanya atau rekan sejawatnya. Berikut perjalanan pendidikan Ibu Mur hingga meraih gelar profesor di Universitas Jantong Rakyat Aceh tersebut.

Ia lahir di Meulaboh pada 7 Mei 1960 lalu, namun kedua orangtuanya berasal dari Simeulue, sejak kecil hingga remaja ia habiskan di kediamannya, mulai dari pendidikan sekolah dasar di SD Muhammadiyah, SMP Negeri 1, hingga SPG Negeri Meulaboh.

Pertualangan berlanjut. Tatkala remaja seusianya kala itu lebih memilih menikah, Mur memilih menundanya. Ia rela mengejar mimpinya dulu hingga ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1980, ia resmi tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Administrasi Pendidikan FKIP Unsyiah.
Saat menempuh pendidikannya di Unsyiah, ia menemui belahan jiwanya. Mur mengakhiri masa lajangnya dengan dipersunting oleh Dr Nasir Usman yang tak lain adalah kakak letingnya di Unsyiah.

Buah cintanya dengan Nasir Usman yang juga Wakil kepala sekolah Lab School itu dianugerahi dua orang anak, putra pertamanya, Ilhamul Chairul sedang menyelesaikan semester akhirnya di Jurusan Kedoktoran Gigi Fakultas Kedokteran Unsyiah dan putra bungsunya, Ichsanul Basili masih menempuh pendidikan sekolah menengah atas di SMA Fatih School.

Selain mengajar mahasiswa S1 dan S2 di FKIP Unsyiah, ia juga disibukan dengan kebiasaanya membaca, menulis, dan memberikan seminar dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pendidikan.

Semasa sekolah, ia kerap meraih prestasi yang membanggakan sekolahnya, pun kedua orangtuanya. Begitu juga kala ia menempuh pendidikan di FKIP Unsyiah, ia acapkali meraih penghargaan sebagai mahasiswa terpuji.

Pada tahun 1985, ia berserta suaminya berangkat ke Bandung untuk menyelesaikan pendidikan S2 di IKIP Bandung dan pendidikan S3 di UPI Bandung, di sana ia menempuh pendidikan dengan predikat coumlaude.

Puncaknya adalah ketika ia meraih persetasi yang sangat membanggakan Unsyiah, pada tanggal 1 Desember 2010, melalui SK menteri Pendidikan ia resmi menjadi Profesor sekaligus menjadi perempuan pertama di Unsyiah yang meraih gelar tersebut.

Selain itu, pada jabatan fungsionalnya di Unsyiah, ia juga merupakan guru besar Administrasi pendidikan FKIP Unsyiah.

Pencapainya itu bukan tanpa usaha dan semangat pendidikan dalam dirinya, ia terlibat aktif pada setiap pelatihan professional, seperti pertemuan pengelola pascasarjana di Bali, pengelolaan Jurnal Ilmiah di Universitas Negeri Malang dan pendidikan tinggi beretika dan berdaya mewujudkan perubahan hakiki di Universitas Mulawarman Kaltim.

Mengenai pendidikan, ia berpedapat pada dasarnya manusia dilihat dari prilakunya. Dimana berprilaku sesuai aturan yang ada pada rujukan ketentuan, baik dan buruknya harus berdasarkan adat atau aturan yang berlaku maupun agama. Namun menurut etika adalah aturan yag dilakukan setiap individu. Dalam hal ini pontensi seseorang yang berpendidikan, maka dibagi menjadi 4 potensi, diantaranya individual, sosial, susila,dan spiritual.

“Bagaimana saharusnya pontensi-pontensi ini dapat dikembangkan lewat informasi yang kita dengar, atau yang diberikan oleh orangtua, guru, dosen atau ligkungan. Semua harus mampu memberikan kesadaran pada diri kita,” Ujarnya.

Begitu juga kemampuan untuk bereksitensi, kemampuan untuk berkomunikasi. Maka pontensi yang ada pada diri kita harus dikembangkan. “Seharusnya mahasiswa melakukan perihal yang berhubungan dengan pendidikan bukan saja dilakukan di kampus, bisa juga di rumah dan di lingkungan lain,” lanjutya.

“Mahasiswa seharusnya sudah memiliki kematangan berpikir. Bertindak dan berprilaku, sebaiknya apa yang kita pikirkan, apa yang kita katakan, apa yang kita buat harus terintergrasi” tutur pemilik karya ilmiah Moral dan Etika Sebagai Sistem dan Perangkat Organisasi.

Menurut Ibu Mur, perkembagan pendidikan sekarang ada sisi positif dan negatif. Dalam kontek perilaku, di mana pada sisi berpakaian, seperti masa dulu, mahasiswi-mahasiswi belum berjilbab, maka dibandingkan dengan generasi dulu dan sekarang, dalam kontek prilaku dan berpakaian itu lebih hebat sekarang. "di mana kita lihat generasi Aceh, baik siswa atau mahasiswa sudah berjilbab sekarang."

“Mahasiswa sekarang telah memiliki pemahaman terhadap satu kondisi, mahasiswa mampu melakukan penyaringan-penyaringan terhadap satu kondisi yang sesuai kondisi kehidupannya. Baik adat istiadat dan agama,” ungkap peneliti Pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan Melalui Manajemen Stratejik di SMKN Banda Aceh.

"Mahasiswa harus melakukan pemantapan dan harus mengoptimalisasi dari satu pemahaman yang mereka miliki, karena dalam diri kita ada nafsu, akal, kemauan dan imitasi."

Dalam menunjang pendidikan, dalam pandangannya pun sekarang pun teknologi lebih berkembang.
“Waktu masa Ibu, internet tidak ada, sangat penting bagi generasi sekarang untuk mampu menyeleksi sumber informasi yang ada,” sebut anggota penilai peneliti terbaik Unsyiah.

"Maka pendidikan itu adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pihak yang bertangung jawab, baik orangtua, guru atau orang yang terlibat dalam masyarakat (tokoh masyarkat) yang memiliki akses terhadap pertumbuhan pendidikan, baik dalam kontek pola pikir, prilaku, maupun pola kreatifitas. Jadi dalam kontek pendidikan, semua itu tidak bisa berdiri sendiri, sangat dipengaruhi oleh pengambilan kebijakan para politikal, baik ditingkat sekolah dan universitas."

Oleh karena itu, lanjutnya, pemeritah daerah dan pusat harus sama-sama bersinergi, sehingga kita tidak saling menyalahkan.

"Perlu kita camkan bersama, baik orangtua, guru dan dosen. setiap pihak harus berkontribusi terhadap peran-peran yang kita mainkan. Sehingga nanti apa yang dilihat dirumah, sekolah, kampus dan di masyarakat, semua kita mampu memberi warna-warna positif untuk melakukan re-regenerasi, karena semua itu tidak bisa dilakukan satu pihak atau dua pihak, tapi semua pihak harus terlibat."
Ia juga memesankan generasi Aceh seharusya mampu melihat kemampuan dan pontensi-pontensi yang ada padanya dan dikembangkan secara positif, sesuai dalam kondisi apa yang nyata.

“Dalam melakukan kegiatan, apapun itu boleh tapi tidak lepas kontrol dari akar budaya. Karena orang Aceh itu penuh dengan kasih sayang, kelembutan, saling toleransi sehingga dalam kontek pendidikan tadi, bagaimana membuat orang berbudaya. Memiliki satu kebiasaan dan harus kita pertahankan
itu, seperti kebiasaan nenek moyang kita, memiliki sifat kejujuran, gotong royong, saling tegur sapa dan saling mengingatkan,”ujar dosen pengajar mata kuliah Pengantar Manajemen Pendidikan di FKIP Unsyiah.

Namun ada juga budaya yang harus kita perbaiki, “misalnya seperti keunduri, tidak mungkin kita melaksanakan kenduri tujuh hari tujuh malam dan tidak tidak perlu efuria juga karena kita harus melihat terlebih dahulu dan kita pertimbangkan, karena itu ada yang perlu kita pertahanakan dan ada yang perlu kita perbaiki bahkan ada yang perlu dihilangkan, misalkan dulu dalam kontek pendidikan seks, masyarakat kita sangat tabu mendengarnya, namun sekarang kita harus terbiasa memahami perihal pendidikan seks, baik cara bergaul dalam menuntut ilmu dan jangan sampai kita kehilangan harkat dan martabat,”jelas Ibu Mur yang juga peserta Simposium Membagun Pendidikan Bangsa di ISPI Bandung.

Mengenai kepedulian pemerintah sendiri, Murniati berpendapat pemerintah mulai peduli terhadap pendidikan, seperti adanya beasiswa, pendirian berbagai asosiasi pendidikan, dan rekrutmen dalam berbagai kegiatan, namun ada hal-hal yang perlu di optimalkan dan dikembangkan.

“Seperti asosiasi universitas negeri dan swasta harus bersinerji karena mereka adalah mitra dalam menunjang keberhasilan pendidikan,”terang instruktur pada pelatihan calon kepala sekolah.

Sebagai guru besar di Unsyiah, nantinya Murniati akan melakukan berbagai kegiatan, pendidikan, pengajaran dan penulisan sesuia program yang ia geluti. Dalam berprilaku pun kita harus menjalankannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku sehingga apa yang kita katakan dapat memberi kontribusi nyata terhadap mahasiswa dan masyarakat dan mampu berprilakau baik.

“Kita juga akan melakukan penelitian yang menjadi data dan informasi dalam pengambilan keputusan dan perbaikan pendidikan di masa mendatang,” tutup pemilik makalah Peningkatan Mutu Kinerja Kepala Sekolah pada Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Pendidikan di ISMAPI Sumatera Utara. []

Minggu, 20 Januari 2013

Lubuk Sukun Kampung Aceh Tempo Dulu

Catatanpolem | Hendra Saputra & Ferdian A. Majni

 Tidak terlalu rumit menemukan arah menuju destinasi wisata bercorak kehidupan dan budaya masyarakat Aceh tempo dulu.

Selain, penempatan papan nama petunjuk arah, akses masuknya hanya berjarak 5 meter dari jalan Nasional Medan-Banda Aceh. Setelah itu, kita terlebih dahulu menemukan jembatan penghubung sepanjang 100 meter yang membelah Krueng Aceh ke Desa Lubuk Sukun, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Sesaat melewati jembatan, suasana sejuk nan asri mulai menghampiri setiap pengunjung. Siang itu, 29 Desember 2012, meski matahari kian tepat di atas kepala, namun panasnya tak begitu menyengat. Rindangnya perpohonan yang tumbuh disepanjang jalan desa itu, tak membuat sinar matahari langsung menjamah kulit.

Keramahan penduduknya kian menambah suasana menjadi akrab, beberapa pria yang sedang nongkrong di warung kopi tersenyum ramah, seorang di antaranya menghampiri kami, Namanya Darzam, Ia adalah pramuwisata bagi wisatawan yang berkunjung ke desanya.

"Setelah dijadikan objek wisata, saya ditugaskan menjadi pemandu di sini," ujarnya memperkenal diri.

Sejak Senin, 15 Oktober 2012, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh menetapkan Desa Lubuk Sukun itu menjadi gampong atau desa wisata budaya guna melestarikan adat istiadat dan kearifan lokal masyarakat setempat serta desa wisata percontohan di Aceh.

Setelah lolos seleksi dari empat kriteria dasar yang dinilai, yaitu asli, lokal, unik dan indah, perihal itu tidak terlepas dari dicanangkannya tahun kunjungan wisata ke Aceh pada 2013 mendatang.

"Untuk mewujudkan keinginan itu, perlu adanya kerja sama yang berkesinambungan antara pemerintah, swasta, masyarakat, lembaga pariwisata dan pihak terkait lainnya," ujar Mukhlis Basyah, Bupati Aceh Besar, saat peluncuran desa itu.

Sejauh mata memandang kita akan dimanjakan dengan pemandangan rumah-rumah khas Aceh yang masih kokoh berdiri, suasananya asri, bersih dan tidak ada hewan yang berkeliaran. Seakan kita kembali ke masa Aceh tempo dulu, rumah adat Aceh hampir tersebar di seluruh pelosok Aceh.

Namun, hal itu menjadi pemandangan yang langka sekarang. Masyarakat Aceh berlomba-lomba membangun rumah dengan interior dan ekterior modern, baik di pendesaan atau di kota.

Hingga saat ini, masyarakat yang masih mengunakan rumah Aceh sebagai tempat tinggal, hanya ada di beberapa titik, seperti di sebagian kecil daerah Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Selatan. Uniknya, di Desa Lubuk Sukun itu, hampir semua masyarakat masih menghuni rumah Aceh,

"Kesadaran masyarakat untuk mempertahankan rumah Aceh masih tinggi, namun ada juga yang telah memodifikasinya tapi miniatur Acehnya masih ada," sebut Azwar Yusuf, Kepala Desa Lubuk Sukun.

Azwar mengatakan, Desa Lubuk Sukun merupakan bagian dari Mukim Lubuk dengan luas wilayah 112 ha dan terbagi dalam empat dusun, yaitu Dusun Darussalihin, Dusun Darul Makmur, Dusun Darul Ulum dan Dusun Darussalam,

"Ada sekitar 996 jiwa yang menetap di sini dengan total 191 bagunan berupa rumah dan lain-lainnya," ujar Azwar.

Di balik itu, ada hal yang bersejarahnya lainnya yang menjadikan Desa Lubuk Sukun menjadi tempat yang layak dikunjungi, baik untuk mengenal adat istiadat Aceh atau wahana edukasi yang langsung dipertontonkan.

"Selain kewajiban mengaji setelah magrib untuk semua warga, kita juga sudah mulai belajar berbahasa Inggris dan Mandarin pada Sabtu dan Minggu. Ini semua untuk memudahkan komunikasi warga dengan wisatawan mancanegara," ujar Darzam.

Darzam menceritakan, beberapa hari lalu desanya sempat dikunjungi wisatawan asal Jepang. Mereka semua takjub dengan kondisi alami yang dimiliki desa ini.

"Orang Jepang itu bilang, desa ini seperti Jepang setengah abad yang lalu, nyaman dan damai untuk ditinggali," ujar Darzam, yang hanya mengerti sedikit dari pembicaraannya dengan turis Jepang.

Selain itu, Desa Lubuk Sukun juga merupakan tanah kelahiran orang-orang besar di Aceh, seperti Cek Mat Rahmani, yang merupakan Duta Besar Indonesia era 1970-an di beberapa negara di Timur Tengah, mantan Gubernur Aceh A Muzakkir Walad yang berkuasa periode tahun 1967 - 1978.

Hebatnya, kedua rumah Aceh milik orang besar itu, masih berdiri kokoh sampai sekarang. Misalnya rumah milik Cek Mat Rahmani yang banyak dikunjungi wisatawan dan Muzzakir Walad yang masih terawat.

"Dulu kalau Bapak libur dinas, sering menginap di sini dan ia juga mengajak warga sekitar untuk pempertahankan warisan leluhur ini," ujar Syahrul, penjaga rumah itu.

Salah seorang wisatawan lokal, Fadli mengatakan, Ia sangat terkesan dengan keistimewaan yang dimiliki Desa Lubuk Sukun,

"Konsep yang ditawarkan desa ini sangat bagus, selain suasana desanya yang masih alami dan indah, pelestarian rumoh Aceh oleh warga Lubuk Sukun juga patut dicontoh oleh desa-desa lainya. Yang paling berkesan, teryata orang-orang hebat banyak
berasal dari sini," ungkap Mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh itu.

Rumah Aceh milik Cet Mat Rahmani sendiri menjadi ikon dan banyak menarik minat wisatawan yang mengunjungi Lubuk Sukun, baik dalam atau luar negeri,

"Artis Ibu kota, Seperti Cristine Hakim dan Cut Yanti sudah pernah ke sini, kalau turis asing, biasanya dari Asia, Eropa, Australia juga ada," tutur Juni Rahmani.

Juni Rahmani yang juga putri dari Cek Mat Rahmani menceritakan bahwa umumnya rumah Aceh di sini telah dibangun sejak 1950 sampai 1980, dengan tiga konstruksi utama yaitu serambi keue (depan), serambi teugoh (tengah) dan serambi likot (belakang).

Dengan rincian, serambi depan itu tempat menerima tamu, tempat mengaji, dan tempat tidur anak lelaki. Serambi tengah terbagi dua yaitu rumoh inong yang berfungsi sebagai kamar tidur kepala keluarga dan rumoh anjong untuk kamar tidur anak gadis dan serambi belakang berfungsi dapur serta ruang makan keluarga.

Rumah Aceh layaknya rumah panggung biasa, disangga sekitar 12 tiang utama atau lebih seukuran batang kelapa, dindingnya merupakan pahatan kayu yang telah diukir sedemikian rupa, atapnya mengunakan daun rumbia dan dengan ketinggian sekitar 2-3 meter. Namun, itu tergantung letaknya,

"Kalau letak rumah di daratan rendah, rumahnya dibuat agak tinggi agar terhindar dari banjir," ujar Juni.

Rumah ini masih sangat alami, setelah lantai tanahnya disemen dan dijadikan ruang tamu, Jingki (penumbuk padi tradisional Aceh) yang biasanya ada di bawah telah dipindahkan. Selain perawatan rutin, setiap 25 tahun sekali atap rumbianya kita ganti. Meski biayanya mahal, kita bangga masih mempertahankan warisan leluhur.

Di lain sisi, sebenarnya konsep membangun rumah Aceh yang dilakukan masyarakat dahulu sangatlah multiguna. Lubuk Sukun sendiri terletak di wilayah yang kurang baik secara geografis, berada di daratan rendah, dekat dengan pengunungan dan melintasi Krueng Aceh yang bisa mengakibatkan banjir di desa itu bila air sungai meluap.

"Maka para pendahulu kami merancang rumah Aceh dengan prinsip tahan gempa dan terbebas dari banjir," sebut Darzam.

Meski Krueng Aceh yang lebar 30-50 meter dan bersisian dengan Lubuk Sukun, sejak 1990 ketika proyek Krueng Aceh dibangun menjadi dua alur muara yang langsung mengirimkan air sungai ke laut.

"Sejak luapan sungai bermuara ke Lampulo, Banda Aceh dan Alue Naga, Aceh Besar. Desa kami telah aman dari banjir tahunan itu," ujar Darzam, ketika memperlihatkan area sisi sungai yang dimanfaatkan warga sebagai kebun.

Darzam juga sempat membawa kami untuk mengunjungi tempat peternakan sapi di desa tersebut. Warga di sini memelihara hewan dengan cara dikurung jadi tidak ada hewan yang berkeliaran bebas,

"Semua hewan peliharaan dikurung, para perternak sapi juga membuat kandang khusus, yang hanya memuat empat ekor sapi dalam satu kandang," sebutnya.

Selain menjadi peternak, masyarakat desa itu juga berprofesi sebagai petani, pegawai negeri sipil dan selebihnya wirawasta, "Mayoritas kami petani, meski letak pesawahan agak jauh dari permukiman warga," tutur Darzam.

Warga Lubuk Sukun juga masih menjalankan adat dan tradisi yang dilakukan melalui ritual-ritual secara islami, seperti hari itu, sejumlah orang sedang mempersiapkan sebuah resepsi pernikahan salah satu warganya.

"Setiap ada kegiatan, kami selalu melakukannya secara gotong royong dan kekeluargaan, seperti Kenduri Blang (persiapan turun ke sawah), Maulid Nabi, Nuzulul Quran, Peusijuek (tepung tawar), dan Kenduri Meukawen (pesta perkawinan) seperti hari ini," ujar Darzam.

Setelah lelah mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Lubuk Sukun, kami beristirahat sejenak di sebuah balee atau balai Putroe Phang yang dijadikan tempat musyawarah para pemuka desa itu, "Selain di Meunasah, di sini juga sering diadakan rapat desa atau musyawarah gampong," sebut Darzam.

Maka, dengan segala keistimewaanya, Lubuk Sukun diharapkan mampu menarik minat wisatawan pada hajatan visit Aceh year 2013.

Lubuk Sukun juga akan membawa pengunjungnya merasakan kehidupan masyarakat Aceh pada ratusan tahun silam. Dengan persembahan adat-istiadat dan wahana ke-Acehan yang masih alami. Sekaligus, sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional.[]

Sumber: MICOM

Sabtu, 08 Desember 2012

Yafi: Drummer Cilik di Blantika Musik Aceh


 Oleh Ferdian A. Majni

//papa memang harus begini Sering bikin sakit hati//
//papa gak pulang beibeh//
//papa gak bawa uang beibeh//
Lirik lagu ini menghentak di atas panggung. Berjudul Papa Rock N Roll dari The Dance Company memikat penonton mengikuti alunan lirik tersebut.
Suasana sontak menjadi riuh oleh tepuk tangan penonton menyambut penampilan grup band Yafi and Friends. Ketika bernyanyi, sesekali sang vokalis menghampiri drummer yang berada di belakangnya. Namun dari arah penonton, hanya tangan drummer yang memegang stik menghujam simbal drum dengan keras. “It’s Yafi,” teriak sang vokalis.
Band yang sedang perform itu bernama Yafi and Friends. Kecekatan sang drummer dalam menabuh drum menjadi pusat perhatian penonton. Ia bernama lengkap Muhammad Yafi.
Yafi lahir di Banda Aceh. Tepatnya pada tanggal 28 Februari 2008 lalu. Bocah empat tahun ini kerap membuat penonton berdecak kagum. Tak hanya di atas panggung saja, di belakang panggung pun belasan remaja cewek rela antri dan mengerumuni Yafi untuk mengajak foto bareng. Tak ayal diantaranya mencubit pipi Yafi dengan gemes.
“Anaknya berbakat dan lucu banget, pengen aja nyubit pipinya,” ujar salah satu mahasiswi Unsyiah, Putri yang ikut menonton konser tersebut.
Kegemaran Yafi menabuh drum ini berawal dari usianya di bilangan tiga tahun. Saat itu, ia melihat ayahnya Novrizal, sang drummer MD Band kerap menabuh band di depannya. MD Band adalah salah satu band specialis couver lagu-lagu dari kelompok band ternama Jamrud.
Novrizal merupakan drummer senior di blantika musik Aceh. Sejak itu lah Yafi selalu merengek meminta satu set drum band untuk dimainkan oleh tangan mungilnya. Permintaan tersebut membuat pasangan Nofrizal dan Yelly harus berpikir ulang untuk mengabulkan permintaan anaknya.
“Usianya saja masih tiga tahun, tubuhnya juga kecil, masih takut juga untuk mengabulkan permintaannya,” sebut Yelly.
Selain faktor tersebut, Yelly juga menceritakan bahwa saat mengandung Yafi dulu, ia acapkali mendatangi suaminya yang sedang perfom.
“Waktu hamil Yafi, saya sering ikut suami ketika konser. Apalagi ketika usia kandungan saya mencapai tujuh bulan. Saya sering merasakan hentakkan kaki Yafi yang beriringan dengan tabuhan drum ayahnya,” kenang Yelly.
Keinginan Yafi itu tak dapat dibendung. Dimana pun berada, tangan Yafi selalu aktif dan acapkali memukul apapun benda dihadapannya. Bakatnya semakin terlihat.
“Apalagi ketika ia memukul simbal yang saling bersentuhan dan  menghasilkan suara groove yang lebih solid karena kecepatan dan kekuatan kaki yang sudah kuat,” celoteh Yelly.
Pada akhir 2010, pasangan Nofrizal dan Yelly memutuskan untuk membeli drum set ke Medan. Setelah itu, Yafi saban hari menghabiskan waktu belajar menabuh drum dengan ayahnya.
Bakat Yafi tidak sia-sia. Bocah empat tahun ini mulai dikenal banyak orang setelah sukses masuk 20 besar Baby Star Indonesia Contest, dari ribuan peserta yang mendaftar di wilayah Sumatera. Kepiawaiannya menabuh drum, membuat  Yafi tembus di 6 besar dan menjadi juara wilayah Sumatera serta berhak tampil di panggung utama di Jakarta.
Diajak Main Film
Pada Desember 2011 tepatnya saat perayaan hari ibu, Yafi tampil di Gedung DDC Jakarta. Di gedung tersebut pula lah audisi Indonesia Idol digelar. “Penampilan Yafi sungguh mengesankan para penonton,” ujar Yelly.
Penampilannya yang memukau serta tampilannya yang unik dengan rambut lurus tergerai panjang ke belakang, membuat sejumlah sutradara film di Jakarta menawarkan Yafi untuk bermain film.
“iya, Yafi diajak main film. Tapi Yafi gak mau,” celoteh Yafi yang sembari berlarian ketika saya langsung bertanya padanya.
Di Banda Aceh, Yafi juga kerap manggung sebagai drummer bersama bandnya “Yafi and Friends”. Seperti misalnya di ajang galang dana peduli Tangse di Putroe Phang, live musik di Seutui cafee dan di festival ladies play di museum tsunami sebagai guest star.
Untuk urusan selera lagu, akhir-akhir ini Yafi lebih menggemari musik beraliran rock untuk menemani pukulan drumnya. Seperti lagu dari band The Dance Company dan lirik lagu band mancanegara Muise serta Linkin Park.
Tak hanya aliran rock, untuk urusan lagu slowrock Yafi lebih menggemari lagu-lagu dari band Armada. Seperti lagu berjudul pemilik hati, cinta itu buta dan hampa hatiku.
Memberikan akses menyalurkan bakat pada anaknya sebagai musisi tidak membuat Yelly lupa pendidikan untuk Yafi. Sebagai orang tua, ia masih memprioritaskan pendidikan yang utama bagi anak tunggal itu.
“Pendidikan yang paling utama. Yafi pernah masuk PAUD, tapi beberapa hari kemudian tidak mau pergi lagi,” ujar Yelly.
Selain berbakat menabuh drum, Yafi juga lihai bermain bola dan setiap sore ia pasti mengajak kakeknya untuk bermain bola. Ia kerap mengajak kakeknya bermain bola.
Sementara untuk malam hari, bocah penabuh drum ini sering membaca Alquran. “Yafi udah bisa ngaji Iqra,” sebutnya kegirangan.
Yelly sebagai ibunda dari Yafi mengajak orang tua lainnya agar mendukung bakat-bakat yang dimiliki seseorang anak sejak dini.
“Selain memikirkan pendidikannya ke depan, sebagai orangtua kita juga harus mendukung bakat-bakat anak kita. Sayang kalau dipendam,” tutur Yelly sembari mengendong Yafi yang meloncat ke arahnya.[]
 sumber: atjehpost.com