. Cerita Cut Risya Firlana Meraih Beasiswa ke Australia ~ Catatan Polem
animated gif how to

Sabtu, 13 Oktober 2012

Cerita Cut Risya Firlana Meraih Beasiswa ke Australia


Oleh Ferdian A. Majni

Sore itu di Taman Putroe Phang, The Atjeh Post berkesempatan mewawancarai seorang dara Aceh yang memiliki segudang mimpi dan prestasi. Dari kejauhuan ia menebar senyum. Tubuhnya semampai. Kulitnya sawo matang dan garis lesung pipi itu menambah aura kecantikannya.

Selain pintar dan cantik, ia juga sangat santun. Suasana kekeluargaan membuat  setiap orang akan cepat merasa akrab dengan sosoknya. Anak dari Almarhum Teuku Banta Indra dan Cut Alisah itu bernama Cut Risya Firlana. Ia biasa disapa Acut. Dibalut pakaian kasual dan jilbab merah bergaris kotak-kotak serta kacamata diwajahnya, ia terlihat anggun dan modis.

Belakangan ini, dara peraih IPK 3.1 itu sibuk mengerjakan tugas akhirnya. Ia tercatat sebagai mahasiswi Jurusan Pendidikan Dokter Umum, Fakultas Kedokteran Unsyiah.

Namun bukan itu saja yang membuat ia harus pintar membagi waktunya. Acut juga sedang sibuk menyiapkan kebutuhanya ke Australia. Eits, tunggu dulu, Acut bukan hendak pelesiran ke Negeri Kangguru tersebut. Tetapi itu terkait mimpi besarnya yang ia tulis dalam buku hariannya.

Mimpi-mimpi besarnya itu memulai terealisasikan satu demi satu. Acut terpilih sebagai pemuda berprestasi Indonesia dan berhak mengikuti pertukaran pemuda ke Australia mewakili Aceh dalam program Australia-Indonesia Youth Exchange Program atau AIYEP 2012.

“Saya ingin berkeliling dunia dengan cara menuliskan nama-nama negara yang ingin saya kunjungi dalam catatan harian saya,  seperti India, Nepal, Rusia, Inggris, German, Belanda, Amerika serikat, Kanada,” ujar Acut mengawali ceritanya mengenai Australia yang tidak ia sebutkan dalam cita-citanya keliling dunia.

Sebelumnya Acut tak memikirkan tentang Austarlia yang menjadi negara pertama untuk mengawali mimipinya keliling dunia. “Tidak terpikirkan bagi saya untuk menuliskan negara Australia di catatan tersebut. Alasannya, negara tersebut terlalu dekat dengan Indonesia, seolah terkesan kurang menantang dan eksklusif,” ujar dara kelahiran Banda Aceh, 9 Juni 1989 lalu itu.

Namun Acut tetap mensyukuri atas apa yang ia dapatkan, karena semua itu adalah pemberian Allah lewat usaha yang dilaluinya. “Bagai mimpi yang menjadi kenyataan. ini menjadi salah satu bukti bahwa Allah SWT telah merencanakan sesuatu yang terbaik untuk hambanya, kadangkala tanpa diminta,’’ kenang Acut ketika ia dinyatakan menjadi kandidat pertama peraih AIYEP 2012.

Pencapaian yang sedang Acut jejaki bukan tanpa cobaan. Berawal dari meninggalnya ayah Acut ketika bencana Gempa dan Tsunami 2004. Ketika itu Acut masih duduk di bangku kelas satu SMAN 2 Modal Bangsa Aceh Besar. Tergiang dalam ingatannya ketika seluruh keluarga harus pindah ke Jakarta dan Acut melanjutkan pendidikan di sana.

Namun cita-citanya berkeliling dunia tentu kandas bila ia harus menunggu biaya dari sang bunda. "Ibu saya seorang ibu rumah tangga, yang harus menanggung biaya hidup tiga orang anak, kakak, abang, dan saya. Syukur, paman saya ingin membantu biaya pendidikan dokter umum saya sampai selesai. Mempertimbangkan keadaan tersebut, sedikit mustahil bagi saya menggapai mimpi, keliling dunia apalagi dengan biaya sendiri,” ujar alumnus SMAN 3 Jakarta Selatan itu.

Acut mencoba berbagai usaha yang memungkinkannya dapat meraih mimpi tersebut tanpa biaya sendiri. Sejak 2011, ia mulai familiar dengan program Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Indonesia itu.

Di tahun yang sama, Acut mencoba mengikuti seleksi PPAN, Indonesia-Kanada, secara lokal diselenggarakan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh.


Tapi ia belum beruntung, hanya menempati posisi ketiga (cadangan kedua). “Saya terpilih tiga besar, namun berkesempatan ikut kalau seandainya kedua peserta lainnya berhalangan,” ujar dara yang aktif di komunitas bahasa Inggris ACCES (Aceh Community Center English club Society) di Sultan Selim II ACC.

Acut tak patah arang. Bahkan tekadnya untuk keliling dunia semakin menggebu. Ia menambah strategi dan belajar pelbagai keterampilan yang diharapkan para juri. “Karena belajar dari kegagalan sangatlah penting, menambah skill saya, jiwa kepemimpinan, dan beberapa penilaian lainnya,” ujar guru bahasa Inggris anak di lembaga kursus bahasa JEC (Jasmine Education Center) tersebut.

Acut kembali mencoba mengikuti seleksinya pada 2012. Pada tahun ini Program PPAN membuka kesempatan bagi lima putra Aceh yang sesuai kriteria peserta untuk membanggakan Aceh dan Indonesia melalui hubungan diplomasi dan kebudayaan.

Program dan kuota gender tersebut di antaranya, AIYEP (Australia-Indonesia Youth Exchange Program) untuk perempuan, SEAYAP (South East Asia Youth ASEAN Program) untuk perempuan, IMYEP (Indonesia-Malaysia YEP) untuk perempuan, ICYEP (Indonesia-Canada YEP) untuk laki-laki, IKYEP (Indonesia-Korea YEP) untuk laki-laki. Setiap tahun, kuota gender akan berubah dan jumlah program dapat tetap atau berubah.

Seleksi setiap program memiliki item penilaian yang sama, yaitu: tes menulis esai, berpidato, dan ujian pengetahuan umum. Kemudian, tes wawancara, atraksi keterampilan seni yang dimiliki, dan kemampuan melakukan FGD (focus group discussion). Semua tes harus dijalani dengan menggunakan bahasa Inggris.

Nah, Acut memilih program AIYEP. Berbagai persiapan pun ia persiapkan dengan sangat matang selama sepekan untuk mengikuti seleksi tersebut.

Ia mencari berbagai informasi mengenai program AIYEP dari berbagai sumber seperti bertanya pada alumni dan internet." Acut juga memperlajari pengetahuan umum tentang Indonesia dan Australia beserta hubungan diplomasi kedua negara,” ujar dara yang pernah bersekolah di SDN 75 dan SMPN 7 Banda Aceh itu.

Acut menajamkan kemampuan bahasa Inggrisnya, baik dalam berpidato, menulis,  berdiskusi. Dan tak kalah penting adalah melatih keterampilan seni. Acut berencana menampilkan tarian tradisional Aceh.

Pengalaman berorganisasi sangat ia rasakan, baik lingkungan kampus atau diluar kampus. “Semua itu membawa manfaat bagi saya dalam berkomunikasi di depan publik dan menjalani dinamika hidup dimana, saling menghargai pendapat, proaktif, inisiatif, dan komunikatif,”ujar Bendahara komunitas YIC (Youth Inspiring Community) ConViS dan Anggota Organisasi kampus CIMSA di divisi SCORA itu.

Berdasarkan pengalaman Acut sebelumnya, sesi wawancara juga sangat menentukan. Di sini juri akan menilai pengetahuan peserta tentang program tersebut, kemampuan adaptasi pada daerah dengan budaya berbeda, dan kepribadian peserta.

Setelah mengikuti tes hari pertama (esai, pengetahuan umum, dan pidato), 10 dari 110 peserta PPAN dinyatakan memperoleh nilai tertinggi dan dipilih untuk mengikuti tes hari kedua (tes wawancara, penampilan seni, dan FGD) di kantor Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh.

Berbekal persiapan yang optimal dan belajar dari pengalaman sebelumnya, Acut mampu melalui semuanya dengan lancar. Ia lulus menjadi kandidat pertama sebagai peserta program AIYEP 2012.

Pencapaian dara yang memiliki motto hidup  "Success is my right. It’s worthy to be fighted for" itu juga tak lepas dari dukungan dan doa orangtua serta keluarganya.

Bagaimana pun, Acut berharap doa dan bantuan dari berbagai pihak untuk mendukungnya dalam mengikuti program ini hingga akhir.

“Acut juga berharap kepada Allah SWT, bahwa kesempatan ini benar-benar dapat mewujudkan mimpi dan pengalaman yang saya peroleh nantinya, dapat dibagi-bagi dan menginspirasi teman-teman di Aceh lainnya,” tutur Relawan divisi kesehatan remaja di LSM ConViS (Consortium for Villages Strethening in Aceh dan peserta Bakti Sosial Mahasiswa Kedokteran UNSYIAH di Aceh Besar tahun 2009 lalu itu.

Satu pesan Acut untuk generasi muda Aceh: jangan pernah takut bermimpi. "Lebihkan usahanya, lebihkan doanya, lebihkan sabarnya, disiplin, kerja keras dan tetap berpikir positif dan insya Allah pintu sukses milik kalian,” ujar pemilik account email risya.beautifulmind@gmail.com itu. []

Sumber: atjehpost.com
Foto: Ferdian A. Majni

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar