. Sebatang Kara ~ Catatan Polem
animated gif how to

Senin, 10 Oktober 2011

Sebatang Kara





Oleh : Ferdian A Majni


Semilir angin malam menampar wajahku yang masih berpeluh air mata. Aku terdampar di pulau antah berantah, setelah seharian terombang di tengah badai lautan. Aku tak sadarkan diri, setelah perahu yang ku tumpangi bersama adikku dihempas ombak. “Ya Tuhan, di mana adikku?”
Aku terkejut usai siuman. Dengan tubuh sempoyongan, aku menyusuri ilalang mencari adikku. “Ukhtiiiiiii…….” Teriakanku menggema menerobos keheningan malam. Aku mencari Ukhti, adikku yang sejak pagi tadi tidur di pangkuanku. Tak kulewatkan setiap penjuru pandanganku akan bayangan Ukhti. Aku khawatir bila dia menangis ketika menyadari aku tak disampingnya. Entah mengapa ku beranikan diri untuk menyertainya dalam perjalananku. Aku sempat tak berniat membawanya tapi butiran kristal di matanya meluluhkan niatku. Aku tak berfirasat buruk, aku yakin Ukhti juga terhempas dan terdampar sepertiku.
Maksud hatiku ingin menjamah Ibukota, menyeberang lautan agar aku sampai di sana, untuk mengubah nasibku. Aku yang telah yatim piatu dengan sabar ku besarkan Ukhti sejak usianya dua puluh bulan, dengan penghasilan yang sangat kurang. “Aku bisa menyisihkan sedikit uang untuk biaya operasi adikku suatu hari nanti”, pikirku.

Pernah terbesit di hati untuk menitipkan Ukhti ke panti asuhan agar aku bisa mencari uang sebanyak-banyaknya di Ibukota, namun aku tak sanggup meninggalkannya. Aku tak tega. Bila suatu hari dia bertanya tentang orang tuanya, siapa yang akan menjawab. “Andai aku bisa memilih, aku tak ingin seperti ini, aku tak ingin menjadi orangtua bagi Ukhti, karena aku masih butuh Ayah dan Ibu,” egoku.
Ibuku menyusul Ayah setelah sebutir timah panas bersarang di ulu hatinya, suatu senja di pematang sawah. Tak ada yang peduli dengan jasad perempuan itu. Semua ketakutan untuk menolongnya. Peperangan aparat dan pemberontak berkecamuk di Desa ku. Esok harinya baru Ibuku dikebumikan.

Malam semakin larut, rembulan tepat berada di atas ubun-ubun ku, Ukhti belum juga kutemukan. Aku harus terus mencarinya karena aku yakin Ukhti tak bisa berbuat banyak untuk menemukanku. Ukhti tak bisa melihat. Awalnya aku tak mengetahui kalau Ukhti adikku buta, kerena dia juga tumbuh secara normal walau tanpa seorang ibu. Namun suatu malam ketika panas tinggi menderanya, aku mendatangi seorang tabib untuk mengobati Ukhti. Dengan beberapa ramuan obat akhinya adikku sembuh. Tapi setelah sepekan menjelang aku menyadari akan kelainan yang ada pada Ukhti, yaitu gangguan penglihatan yang berujung pada kebutaan.
Tertatih aku melangkah demi langkah, berteriak memanggil Ukhti. Terus kulakan. Aku berharap kutemukan Ukhti malam ini. Aku tak ingin dia sakit. Aku belum menyuapinya nasi, dia pasti sedang menangis kelaparan.

                                                                    ***
Di sepertiga malam, mataku berat, tubuhku ringan, aku ambruk, “Allahu akbar,” ucapku. Aku ingin bangkit dan kembali berjalan mencari Ukhti. Aku tak bisa bergerak, aku kedinginan. Apakah aku akan mati di sini tanpa Ukhti di sampingku. Tubuhku mulai kaku.
Esok hari aku ditemukan oleh nelayan yang kebetulan singgah di pulau ini. Tubuhku yang terbujur kaku diangkut ke perahu tua itu. Aku meninggalkan pulau ini tanpa Ukhti. Aku pun tak bisa memberi tau mereka akan keberadaan adikku di pulau ini, agar mereka mencari Ukhti dan juga membawanya pergi bersamaku. Tak terasa buraian airmata mengalir dari mataku, tak ada yang melihat akan gurat sedihku.
Sesampai di desa nelayan, aku diperiksa seorang tabib. Aku dinyatakan mati. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak ingin mati sebelum aku menemukan Ukhti dan menepati janji padanya, yaitu harapanku untuk mengobati Ukhti. Bila Ukhti tak bisa melihat di dunia, semoga dia bisa melihat dan bertemu orangtuanya di Surga.

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar