Oleh: Ferdian A Majni
Matahari berkelakar menancapkan busur panahnya ke ubun- ubun, peluh bercucuran tak lagi ku hiraukan. Mataku masih jelalatan mengitari lorong-lorong pertokoan. Kian hari barang-barang rongsokan begitu sulit ku temukan. Apalagi berharap pada kardus-kardus bekas dari toko. Hujan sepekan telah melumatnya habis, tinggal sisa percik dalam kardus yang berserakan. Aku biasanya mencari barang segala barang bekas demi sesuap nasi, namun aku semakin melarat saja. Mungkin botol-botol bekas harapanku satu-satunya, untuk bisa bertahan hidup, karena botol-botol tak akan rusak diguyur hujan atau disengat matahari.
Apakah hari ini nasibku kurang mujur. Tak seperti biasanya. Di lorong-lorong pertokoan ini aku acap kali menemukan barang-barang rongsokan. Setelah beberapa lorong ku telusuri, tak juga berbuah hasil. Aku berada di lorong terakhir. Dari kejauhan aku menangkap gundukan di atas tong bercat kuning. Bergegas ku berlari kecil mengarah ke sana. Tanpa risih satu demi satu ku bilah isi tong yang terendam air itu. Bau busuk mengarak ke udara.
Karung lusuh bertambal asal jadi itu telah berisi; sepasang botol legam bekas kecap ayam jago, selusin gelas plastik air mineral bekas, beberapa barang rongsok dan selebihnya sampah yang tak bisa dijadikan lembar rupiah. Ku masukkan semua ke dalamnya. Setelah itu ku pungut kembali sampah yang berhamburan di luar dan kubuang pada tempat asalnya. Bergegas aku meninggalkan lorong-lorong pertokoan sempit itu.
Sepanjang jalanan kota, lorong-lorong pertokoan dan tong-tong sampah yang bertebaran di pelosok hampir jemu ku jelajahi menjelang senja. Di ujung jalan arah terminal, aku beristirahat sejenak dan terlihat gerombolan kumuh, di sana aku bertemu Ateng, teman sejawat di jalanan.
“Barang-barangku dijarah mereka” ujar Ateng meringis kesakitan. Aku mendekat dan mengelus pundaknya. Semalam di taman kota ada pesta rakyat, pengunjung pun membludak. Dan botol segala botol tumpah ruah di sana.
Pagi buta Ateng telah berkeluyuran di taman kota. Dengan sisa temaram langit pekat ia memungut hamparan botol-botol di sana. Ketika hendak pulang, Ateng dicegat belasan pemuda. Ia tak menyadari kedatangan mereka. Dari mulut pemuda-pemuda itu tercium bau menyengat. Ateng dituduh mencuri botol-botol miras milik mereka. Seketika Ateng tersungkur dan sekujur tubuhnya babak belur.
Setelah kejadian itu, aku tak pernah bertemu lagi dengan Ateng, begitu juga dengan botol-botol bekas. Semakin sulit saja ditemukan di lorong-lorong pertokoan dan setiap tong-tong sampah kota. Apalagi di tong-tong depan rumah warga. Dapat ku pastikan tak ada lagi botol-botol yang dibuang, mereka menjualnya sendiri kepada pengepul yang terjun langsung ke lapangan. Ah mereka mulai legit pada jelata ini.
Menjelang senja, aku berniat menjual barang-barang bekas yang sudah dua hari aku kumpulkan. Lamat-lamat aku sempoyongan, perut kosong tak diisi sejak pagi tadi. Namun tumpukan rongsokan itu masih kurang, bila dikalkulasikan dengan rupiah, sekitar enam ribuan. Untuk beli sebungkus nasi saja masih kurang seribu. Mungkin tanganku harus lebih giat lagi menjilati kardus-kardus, botol-botol dan sampah-sampah yang bisa laku ditukar duit.
***
Hari-hari berlalu. Tatkala aku sedang memungut botol-botol di persimpangan jalan, aku terhenyak melihat Ateng berada antara mobil-mobil yang berhenti di jalur merah. Tangannya meraba-raba disela kaca-kaca. Jalannya lambat bak tunanetra. Sekejap tangan Ateng meraih selembaran. Aku mendekat dan mengamati tingkahnya.
Di bawah rimbun pohon, Ateng terkekeh menghitung lembar demi lembar rupiah itu. Sesekali ia menyeka bulir-bulir lahar pekat di wajahnya. Ternyata dugaanku meleset, Ateng tak buta. Tapi mengapa ia berpura-pura dan mengemis di jalan tadi. Padahal setahuku ia begitu benci terhadap perkerjaan itu.
Pernah suatu ketika, kami didatangi seorang pria paruh baya. Ia menawarkan pada kami untuk berkerja dengan organisasinya. Setelah diselidiki ternyata mereka bergerak di jasa pemasok pengemis. Dan Ateng lah orang pertama yang menolak tawaran itu. Ia beralasan pekerjaan mencari barang-barang rongsokan lebih mulia daripada menjadi pengemis. Toh kita masih memiliki tubuh yang sempurna, pengemis adalah pekerjaan bagi mereka yang malas.
Ateng terkejut melihat kedatanganku dari balik pohon taman kota. Segera ia menyembunyikan lembaran rupiah itu di celah lipatan celananya. Ia terkekeh menyambutku.
“Kemana saja kau?”
“Aku tau, perkerjaan apa yang kau lakukan itu, padahal setahuku kau sangat benci mengemis!”
Ateng hanya terdiam. Ia menunduk tak berani beradu pandang denganku. Aku berupaya membujuk Ateng untuk kembali pada pekerjaannya dulu.
“Yang kita senangi, walau getir tapi kita selalu bahagia. Tidak seperti yang kau lakukan sekarang. Kau tak lebih dari seorang pemalas.”
Ateng bangkit, Ia meronta dengan wajah memerah. Kini matanya menatapku lekat.
“Aku tak ingin hidup melarat terus. Setelah kupikir, mengemis bisa membuatku kaya!”
Ateng berlari meninggalkanku. Tanpa melirik kiri-kanan Ateng melintas di jalanan padat. Tiba-tiba dentuman keras melengking, Ia terjerembab menghantam aspal. Darah segar mengalir dari lubang hidupnya. Dan orang-orang itu mengangkut tubuhnya dalam mobil berplat merah.
Suatu malam aku terbangun dengan cucuran keringat dingin, mimpiku buruk sekali. Bahkan setelah malam itu tidurku tak lagi pulas. Di sudut emperan toko, aku terbujur kaku melawan rasa takut.
0 komentar:
Posting Komentar