Oleh Ferdian A. Majni
“Alhamdulillah dengan kelebihan berbahasa inggris yang saya kuasai akhirnya saya terpilih di ajang PPAP tahun lalu,” ujar Ipah sambil memperlihatkan dokumentasi perjalanannya saat di wawancarai The Atjeh Post.
Gadis-gadis itu bergerak gemulai. Jemari lentik dan kaki mereka lamat-lamat menghentak panggung. Atraksi Ratéb Meuseukat yang ditampilkan menghipnotis ribuan penonton. Tarian tradisional Aceh itu ditampilkan pada ajang Pertukaran Pemuda Antar Provinsi (PPAP) di Malang, Jawa Timur.
Gadis-gadis beruntung mewakili Aceh itu berjumlah delapan orang, di antaranya adalah Hanifah Hasnur. Ipah, begitu ia akrab disapa, terpilih mewakili Banda Aceh. Sedangkan tujuh rekannya mewakili kabupaten masing-masing. Mereka lalu bersatu membawa nama Aceh dalam satu grup tari mengikuti ajang PPAP di Malang.
Awalnya, Ipah sempat pesimis saat mengikuti proses seleksi yang diadakan Dispora Aceh. Penyebabnya, 80 persen peserta begitu mahir menari, bernyanyi dan memainkan alat musik tradisional Aceh.
“Alhamdulillah dengan kelebihan berbahasa inggris yang saya kuasai akhirnya saya terpilih di ajang PPAP tahun lalu,” ujar Ipah sambil memperlihatkan dokumentasi perjalanannya saat di wawancarai The Atjeh Post.
Saat ini, Ipah menempuh pendidikan S1 di dua tempat berbeda: Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Serambi Mekkah, dan FKIP Bahasa Inggris Unsyiah. “Insyaallah di Serambi akan wisuda Februari nanti dan di Unsyiah pada akhir tahun ini,” kata dara berkulit sawo matang itu.
Putri pasangan almarhum Hasballah dan Nurjannah ini dikenal sebagai sosok ramah, mudah bergaul dan pantang menyerah. Bagi Ipah, pengalaman berharga adalah ketika ia bertemu dan bisa berbagi dengan orang lain. Perihal ini diakui oleh teman-temannya, “orangnya ramah, enak diajak ngobrol dan selalu aktif diberbagai kegiatan” kata Musfijar, salah seorang sahabatnya.
Selain kesibukan kuliah, gadis kelahiran Sigli, 22 Juli 1989 ini juga mengaku sangat tertarik di bidang politik, kesehatan, budaya, lingkungan dan fotografi. Karena ketertarikan itu, Ipah selalu ingin terlibat di berbagai kegiatan dan perlombaan.
Misalnya, pada 2005 ketika masih SMA, Ipah pernah menjadi Pinsa Pi (Ketua Regu Putri) pada Pramuka Saka Bhayangkara Polres Pidie. Saat itu, Ipah sempat mengikuti beberapa even pramuka se-Aceh.
Duduk di bangku kuliah Unsyiah pada 2008, Ipah mulai aktif sebagai pengurus ESA (English Student Association), Compas TDMRC (Tsunami Disaster Mitigation Research Center) Unsyiah, dan Coast to Coat Library (CCL) Language Center Unsyiah.
Di luar kampus, Ipah masih punya seabrek kegiatan. Ia guru les di BT/BS Bimafika, mengajar bahasa Inggris untuk siswa SD, SMP dan SMA. Ipah juga menjadi pendidik sebaya di Ayomi (Aceh Youth Family), salah satu organisasi non profit yang bergerak di bidang penyebaran informasi kesehatan untuk remaja di Banda Aceh.
Keterlibatannya menjadi volunteer di Ayomi membawa Ipah ke beberapa event besar, seperti memperingati hari-hari Nasional, HAN (Hari Anak Nasional), WAD (World Aids Day), dan hari-hari nasional lainnya. Di sana Ipah sering kali dipercaya menjadi speaker dalam talkshow-talkshow di radio maupun program TV daerah dan dalam pembagian media KIA.
Akhir Februari 2011 lalu, Ipah dipercayakan menjadi pemateri pada kegiatan Perkemahan Ragam Lomba Ketrampilan dan Aksi Pramuka Se-Nangroe Aceh Darussalam GUDEP A.329-A.330 di Banda Aceh.
Bagi Ipah, aktif di berbagai organisasi baik dalam atau luar kampus sangatlah penting. Ia menyebutnya, the way to contribute for society. “Kecerdasaan intelektual tanpa kontribusi apa-apa untuk masyarakat di sekitarnya merupakan hal yang sia-sia,” celoteh gadis bungsu dari 3 bersaudara tersebut
Namun bukan kegiatan itu saja yang melambungkan namanya, Ipah juga sering mengikuti berbagai ajang perlombaan, di antaranya.
Pada perlombaan fotografi yang bertema “Hitam Putih Pendidikan Aceh” dan diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Fisika (Himafi) Unsyiah pada awal tahun 2011 lalu. Ipa meraih juara 1 dengan karya foto yang ia ambil ketika berkunjung ke Masjid Raya. “Saya memotret anak-anak yang sedang mengaji di luar masjid, mereka sedang tertawa dengan riangnya.” Kenang Ipah.
Ipah mengaku sudah menyukai dunia fotografi sejak SMA. Bermodal sebuah camera pocket hadiah kakaknya, Ipah selalu mencoba mengabadikan momen-momen berharga. Ia paling gemar menjepret fenomena sosial seperti kegiatan nyak-nyak yang berjualan sayur di Peunayong dan kegiatan ibu-ibu yang mencari tiram di Krueng Aceh.
Punya banyak prestasi, tak berarti Ipah tak pernah gagal. Untungnya, gadis penikmat mie Aceh ini bukan tipe mudah putus asa. Ia bahkan senang mencoba hal baru. Filosofi jangan menyerah sebelum berhasil terpacak kuat di benaknya.
"Apabila kita menyerah sebenarnya kita hanya tinggal selangkah lagi menuju keberhasilan. Itulah yang selalu saya tanam dalam benak saya. Ketika saya belum berhasil menggapai target, maka saya tidak ragu untuk mencoba lagi dan mencoba lagi karena terkadang kesempatan kedua jauh lebih baik daripada kesempatan pertama. Where there is a will there is a way”, so never ever give up," ujar Ipah yang bercita-cta menjadi anggota legislatif.Ipah juga menyimpan banyak harapan di awal tahun ini. Selain ingin segera bisa menyelesaikan studi di kedua universitas, ia juga sedang menunggu pengumuman Beasiswa CCIP (Community College Initiative Program) untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Paman Sam.
Motivasi yang paling besar dalam hidup Ipah adalah Nurjannah, ibu kandungnya. Sosok wanita itu bagai pelita dalam hidupnya. Sejak masih balita, ayahnya sudah meninggal dunia. Walhasil, seluruh kebutuhan keluarga menjadi beban ibunya yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar. Pada akhirnya kedua kakak Ipah mencapai kesuksesan. “Kakak pertama saya berkerja sebagai bendahara di kantor Bupati Aceh Jaya dan kakak kedua bekerja di salah satu Rumah Sakit di Pidie Jaya,” ujar Ipah di ujung pertemuan.
Begitulah, semangat pantang mundur telah membawa Ipah, gadis multitalenta itu, kian dekat meraih impian.[]
sumber: http://www.atjehpost.com
0 komentar:
Posting Komentar