Kebudayaan di Indonesia memang beraneka ragam. Benarlah jika Bhineka Tunggal Ika, dijadikan semboyan bangsa Indonesia yang kaya akan pesona budayanya. Salah satunya adalah Suku Dayak.
Jika Amerika Serikat memiliki suku Indian yang ternama itu, Indonesia juga tak kalah. Negara ini memiliki berbagai macam suku dan adat istiadat yang menarik untuk ditelisik.
Jika Amerika Serikat memiliki suku Indian yang ternama itu, Indonesia juga tak kalah. Negara ini memiliki berbagai macam suku dan adat istiadat yang menarik untuk ditelisik.
Salah satunya adalah Suku Dayak. Suku asli Kalimantan ini bisa dibilang sebagai Indian nya Indonesia. Perbandingan memang tak berdasar. Namun, sebagian masyarakat kerap membandingkan Dayak dan Indian yang berada jauh di sana.
Mungkin karena awalnya suku Dayak memiliki keunikan dalam pakaian adat. Lalu berkembang kemudian soal rumah tinggal, adat istiadat, sistem sosial, dan kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari.
Namun, seiring perkembangan zaman, kebudayaan Dayak juga mengalami pergeseran.
Salah satu dusun suku Dayak terdapat di Nanga Nyabo, tepatnya di Kapuas Hulu. Pada zaman dahulu, di sini masih lengket dengan kebudayaan asli, dari rumah tinggal, perilaku,hukum adat hingga busana sehari-hari.
Kini, daerah di sini hampir sama dengan daerah lainnya di pulau Kalimantan. Mungkin hukum adat masih berlaku di sana. Tetapi, soal pakaian tradisional yang dulunya dikenakan sehari-hari, kini telah berubah.
Lihat saja, anak-anak Dayak yang tinggal di Nanga Nyabo, tak ubahnya seperti bocah zaman sekarang, yang mengenakan pakaian biasa.
Yang unik adalah, mereka masih tinggal di rumah Betang. Rumah Betang merupakan rumah adat asli suku Dayak. Rumah Betang tak jauh berbeda dengan Rumah Panggung. Dasar rumah dibuat dari kayu atau bambu. Bentuk rumah memanjang, dengan bagian depan yang dibuat bertingkat.
Rumah Betang terlihat berupa bangunan tinggi dari permukaan tanah. Konon, hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda. Sebuah rumah Betang bisa ditinggali oleh beberapa keluarga. Karena struktur bangunan yang memanjang dan luas. Namun, banyak juga dari mereka yang memilih untuk tinggal sekeluarga saja.
Mungkin karena awalnya suku Dayak memiliki keunikan dalam pakaian adat. Lalu berkembang kemudian soal rumah tinggal, adat istiadat, sistem sosial, dan kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari.
Namun, seiring perkembangan zaman, kebudayaan Dayak juga mengalami pergeseran.
Salah satu dusun suku Dayak terdapat di Nanga Nyabo, tepatnya di Kapuas Hulu. Pada zaman dahulu, di sini masih lengket dengan kebudayaan asli, dari rumah tinggal, perilaku,hukum adat hingga busana sehari-hari.
Kini, daerah di sini hampir sama dengan daerah lainnya di pulau Kalimantan. Mungkin hukum adat masih berlaku di sana. Tetapi, soal pakaian tradisional yang dulunya dikenakan sehari-hari, kini telah berubah.
Lihat saja, anak-anak Dayak yang tinggal di Nanga Nyabo, tak ubahnya seperti bocah zaman sekarang, yang mengenakan pakaian biasa.
Yang unik adalah, mereka masih tinggal di rumah Betang. Rumah Betang merupakan rumah adat asli suku Dayak. Rumah Betang tak jauh berbeda dengan Rumah Panggung. Dasar rumah dibuat dari kayu atau bambu. Bentuk rumah memanjang, dengan bagian depan yang dibuat bertingkat.
Rumah Betang terlihat berupa bangunan tinggi dari permukaan tanah. Konon, hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda. Sebuah rumah Betang bisa ditinggali oleh beberapa keluarga. Karena struktur bangunan yang memanjang dan luas. Namun, banyak juga dari mereka yang memilih untuk tinggal sekeluarga saja.
Mata pencaharian Suku Dayak kebanyakan adalah nelayan dan petani. Karena tempat ini dekat dengan Sungai Kapuas dan juga perkebunan. Inilah Suku Dayak masa kini. Sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan mitos-mitos yang dulu sempat ada di masa lalu.
Tetapi di balik kehidupan modern, masyarakat Suku Dayak tetap memegang teguh adat-istiadat mereka, tentunya dengan perkembangan yang positif di masa kini.
Tetapi di balik kehidupan modern, masyarakat Suku Dayak tetap memegang teguh adat-istiadat mereka, tentunya dengan perkembangan yang positif di masa kini.
Punan adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Dayak Punan juga tersebar di Sabah dan Serawak, Malaysia Timur yang menjadi bagian dari Pulau Kalimantan.
opulasinya paling banyak ditemukan di Kalimantan Timur diperkirakan berjumlah 8.956 jiwa suku Punan yang tersebar pada 77 lokasi pemukiman.
Punan sendiri memiliki 14 sub rumpun diantaranya Punan Hovongan, Punan Uheng Kereho dan Punan Kelay. Dihitung dari populasi keberadaan Dayak Punan ini kian tahun kian menurun bahkan cendrung punah.
Tetapi walau demikian mereka tetap saja tak pula berubah dengan pola adat istiadad dari leluhur mereka yang dipercayai.
Asal UsulDalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang bernama “Yunan “ sebuah daerah dari daratan Cina.
Mereka berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut.
Suku Primitif
Dari keseluruhan Suku Dayak, orang Punan inilah yang paling terbelakang baik budaya maupun kehidupan mereka. Secara umum mereka ini agak primitif dengan tinggal di goa-goa, anak-anak sungai dan lain sebagainya.
Mereka juga tak mengenal pakaian bagus dan kemajuan zaman. Lebih aneh lagi dari kehidupan masyarakat Punan ini adalah secara umum mereka merasa takut dan alergi terhadap Sabun. Entah apa sebabnya tak ada yang mengetahui secara pasti.
Keadaan hidup primitif ini membawa mereka selalu berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan terus menghindar dari kelompok manusia lain. Dalam kepercayaan mereka para leluhur lah yang menghendaki demikian.
Ada banyak tanda yang diberikan semisal ada diantara mereka yang meninggal. Setelah dikubur, serentak mereka berpindah menuju daerah lain.
Mereka sangat percaya kalau roh yang meninggal akan bergentayangan membuat mereka tak akan merasa tenteram. Warga Punan ini disebut juga warga pengembara dan hidup dalam satu kelompok tanpa berpisah-pisah.
Mereka juga senang dengan makanan yang masih mentah seperti sayur-sayuran hutan yang berasal dari pohon nibung atau banding (teras dala). Begitu pula dengan daun pakis, atau labu hutan yang memang tersedia banyak di hutan.
Soal beras tak terlalu perlu bagi mereka. Makanan utama mereka adalah umbi dan umbut-umbutan hutan, ditambah dengan daging buruan yang mereka temukan.
Untuk daging ini pun jarang mereka masak. Jika ada binatang buruan yang didapat mereka lebih suka menjemur daging-daging tersebut di matahari panas sehingga menjadi daging asin atau dendeng.
Memiliki Kesaktian
Punan dipercaya sebagai orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.
Punan sendiri memiliki 14 sub rumpun diantaranya Punan Hovongan, Punan Uheng Kereho dan Punan Kelay. Dihitung dari populasi keberadaan Dayak Punan ini kian tahun kian menurun bahkan cendrung punah.
Tetapi walau demikian mereka tetap saja tak pula berubah dengan pola adat istiadad dari leluhur mereka yang dipercayai.
Asal UsulDalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari negeri yang bernama “Yunan “ sebuah daerah dari daratan Cina.
Mereka berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut.
Suku Primitif
Dari keseluruhan Suku Dayak, orang Punan inilah yang paling terbelakang baik budaya maupun kehidupan mereka. Secara umum mereka ini agak primitif dengan tinggal di goa-goa, anak-anak sungai dan lain sebagainya.
Mereka juga tak mengenal pakaian bagus dan kemajuan zaman. Lebih aneh lagi dari kehidupan masyarakat Punan ini adalah secara umum mereka merasa takut dan alergi terhadap Sabun. Entah apa sebabnya tak ada yang mengetahui secara pasti.
Keadaan hidup primitif ini membawa mereka selalu berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan terus menghindar dari kelompok manusia lain. Dalam kepercayaan mereka para leluhur lah yang menghendaki demikian.
Ada banyak tanda yang diberikan semisal ada diantara mereka yang meninggal. Setelah dikubur, serentak mereka berpindah menuju daerah lain.
Mereka sangat percaya kalau roh yang meninggal akan bergentayangan membuat mereka tak akan merasa tenteram. Warga Punan ini disebut juga warga pengembara dan hidup dalam satu kelompok tanpa berpisah-pisah.
Mereka juga senang dengan makanan yang masih mentah seperti sayur-sayuran hutan yang berasal dari pohon nibung atau banding (teras dala). Begitu pula dengan daun pakis, atau labu hutan yang memang tersedia banyak di hutan.
Soal beras tak terlalu perlu bagi mereka. Makanan utama mereka adalah umbi dan umbut-umbutan hutan, ditambah dengan daging buruan yang mereka temukan.
Untuk daging ini pun jarang mereka masak. Jika ada binatang buruan yang didapat mereka lebih suka menjemur daging-daging tersebut di matahari panas sehingga menjadi daging asin atau dendeng.
Memiliki Kesaktian
Punan dipercaya sebagai orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.
Orang Punan sangat ditakuti oleh suku lainnya karena merupakan suku yang berani dan berilmu tinggi. Mereka memiliki kelebihan insting dalam berburu dengan kecepatan luar biasa.
Selain kecepatan, suku Punan juga dianugerahi kekuatan fisik yang luar biasa, seorang perempuan saja bahkan dapat mengangkat motor perahu berkekuatan 40 PK dengan mudahnya. Padahal biasanya dibutuhkan dua orang pria untuk mengangkat benda berat tersebut.
Mungkin kekuatan tubuh yang di atas rata-rata mereka dapatkan dari tempaan alam. Orang-orang Punan ini juga memiliki kelebihan dengan penciuman mereka. Mereka tahu ada sesuatu melalui arah bertiupnya angin.
Hebatnya mereka bisa membedakan bau manusia, dan binatang-binatang dengan jarak yang cukup jauh. Walaupun dalam kondisi apapun mereka tahu kalau bau binatang atau manusia yang tercium membahayakan mereka.
Hebat Dalam Berperang
Konon, orang Punan jaman dahulu sangat ditakuti oleh suku Dayak lainnya karena mampu berperang dengan baik. Sebagai “pemburu kepala” atau “ngayau” (dalam bahasa Inggris diistilahkan head hunter).
Selain kecepatan, suku Punan juga dianugerahi kekuatan fisik yang luar biasa, seorang perempuan saja bahkan dapat mengangkat motor perahu berkekuatan 40 PK dengan mudahnya. Padahal biasanya dibutuhkan dua orang pria untuk mengangkat benda berat tersebut.
Mungkin kekuatan tubuh yang di atas rata-rata mereka dapatkan dari tempaan alam. Orang-orang Punan ini juga memiliki kelebihan dengan penciuman mereka. Mereka tahu ada sesuatu melalui arah bertiupnya angin.
Hebatnya mereka bisa membedakan bau manusia, dan binatang-binatang dengan jarak yang cukup jauh. Walaupun dalam kondisi apapun mereka tahu kalau bau binatang atau manusia yang tercium membahayakan mereka.
Hebat Dalam Berperang
Konon, orang Punan jaman dahulu sangat ditakuti oleh suku Dayak lainnya karena mampu berperang dengan baik. Sebagai “pemburu kepala” atau “ngayau” (dalam bahasa Inggris diistilahkan head hunter).
Termasuk dalam kategori suku kanibal karena mempunyai kebiasaan memenggal, memakan hati dan isi perut lawannya adalah hal yang lumrah mereka lakukan.
Mereka juga punya kebiasaan memakan bagian punggung kanan musuhnya yang tewas dalam perang karena bagian tubuh itulah yang diyakini paling enak dimakan.
Dalam keseharian mereka selalu waspada dan siap berkelahi dengan siapapun, termasuk binatang-binatang ganas di dalam hutan. Tradisi siap tempur ini diwarisi semenjak nenek moyang mereka sebagaimana diceritakan di atas tadi.
Mereka memiliki ilmu bela diri yang sangat tangguh dan berbeda dengan ilmu bela diri secara umum yang ada di masyarakat. Mungkin ilmu bela diri yang mereka miliki adalah ilmu yang mereka bawa dari daratan Cina, asal-usul leluhur mereka.
Tertutup Dengan Dunia Luar
Suku yang satu ini sulit berkomunikasi dengan masyarakat umum. Kebanyakan mereka tinggal di hutan-hutan lebat, di dalam goa-goa batu dan pegunungan yang sulit dijangkau.
Sebenarnya hal tersebut bukanlah kesalahan mereka. Namun karena budaya pantangan leluhur yang tak berani mereka langgar terjadilah keadaan demikian.
Mungkin akibat trauma peperangan, mereka takut bertemu dengan kelompok masyarakat manapun. Mereka kuatir pembantaian dan peperangan terulang kembali sehingga mereka bisa habis atau punah tak bersisa.
Karena itulah oleh para leluhur mereka memberlakukan pelarangan dan pantangan bertemu dengan orang yang bukan dari kalangan mereka.
Aktivitas Seks
Bagi Punan yang tinggal di dalam goa-goa, kebanyakan tak mengenal suami atau isteri. Secara umum jika mereka mau bergaul tergantung dari kesepakatan atau suka sama suka.
Dalam keseharian jika ada di antara wanita dan pria yang saling suka, mereka melakukan hubungan intim di dalam hutan. Jadi bagi mereka tak ada istilah cemburu atau rasa memiliki sendiri.
Jika ada yang hamil kemudian melahirkan, maka anak tersebut adalah anak bersama mereka. Di mana mereka saling sayang menyayangi dan saling merawat satu dan lainnya.
Begitu juga dengan tradisi melahirkan, jika ada yang hamil tua dan mau melahirkan wanita tersebut dibawa ke dalam hutan atau tepi sungai untuk melahirkan bayinya.
Aktivitas Ekonomi
Kehidupan dan kerja mereka sehari-hari berdasarkan limpahan kasih dari alam. Memang mereka bisa juga berhubungan dagang dengan masyarakat umum, tetapi tidak ditukar dengan uang namun dilakukan secara barter (pertukaran).
Mereka juga punya kebiasaan memakan bagian punggung kanan musuhnya yang tewas dalam perang karena bagian tubuh itulah yang diyakini paling enak dimakan.
Dalam keseharian mereka selalu waspada dan siap berkelahi dengan siapapun, termasuk binatang-binatang ganas di dalam hutan. Tradisi siap tempur ini diwarisi semenjak nenek moyang mereka sebagaimana diceritakan di atas tadi.
Mereka memiliki ilmu bela diri yang sangat tangguh dan berbeda dengan ilmu bela diri secara umum yang ada di masyarakat. Mungkin ilmu bela diri yang mereka miliki adalah ilmu yang mereka bawa dari daratan Cina, asal-usul leluhur mereka.
Tertutup Dengan Dunia Luar
Suku yang satu ini sulit berkomunikasi dengan masyarakat umum. Kebanyakan mereka tinggal di hutan-hutan lebat, di dalam goa-goa batu dan pegunungan yang sulit dijangkau.
Sebenarnya hal tersebut bukanlah kesalahan mereka. Namun karena budaya pantangan leluhur yang tak berani mereka langgar terjadilah keadaan demikian.
Mungkin akibat trauma peperangan, mereka takut bertemu dengan kelompok masyarakat manapun. Mereka kuatir pembantaian dan peperangan terulang kembali sehingga mereka bisa habis atau punah tak bersisa.
Karena itulah oleh para leluhur mereka memberlakukan pelarangan dan pantangan bertemu dengan orang yang bukan dari kalangan mereka.
Aktivitas Seks
Bagi Punan yang tinggal di dalam goa-goa, kebanyakan tak mengenal suami atau isteri. Secara umum jika mereka mau bergaul tergantung dari kesepakatan atau suka sama suka.
Dalam keseharian jika ada di antara wanita dan pria yang saling suka, mereka melakukan hubungan intim di dalam hutan. Jadi bagi mereka tak ada istilah cemburu atau rasa memiliki sendiri.
Jika ada yang hamil kemudian melahirkan, maka anak tersebut adalah anak bersama mereka. Di mana mereka saling sayang menyayangi dan saling merawat satu dan lainnya.
Begitu juga dengan tradisi melahirkan, jika ada yang hamil tua dan mau melahirkan wanita tersebut dibawa ke dalam hutan atau tepi sungai untuk melahirkan bayinya.
Aktivitas Ekonomi
Kehidupan dan kerja mereka sehari-hari berdasarkan limpahan kasih dari alam. Memang mereka bisa juga berhubungan dagang dengan masyarakat umum, tetapi tidak ditukar dengan uang namun dilakukan secara barter (pertukaran).
Yang dibawa mereka adalah seperti rotan, damar, kayu gaharu, sarang wallet. Yang dibarter dengan gula, tembakau atau rokok. Dan ada pula kain-kainan.
Cara penukaran barangpun tidak langsung bertemu dengan orangnya, melainkan barang-barang yang dibawa diletakkan di suatu tempat yang tersedia. Setelah barang mereka diambil dan di barter dengan barang yang dibutuhkan mereka.
Setelah yakin pengantar barang sudah tidak ada, maka barulah mereka mengambil barang yang menjadi milik mereka.
Kehidupan Modern Suku Punan
Dayak Berusu, adalah salah satu anak suku Dayak Punan. Tetapi Dayak yang satu ini sudah mengenal kehidupan modern.
Keberadaan mereka banyak di daerah pesisir, yaitu di daerah Sekatak Kabupaten Bulungan, mendiami sekitar 13 desa. Kehidupan mereka sangat berbeda dengan mereka yang masih primitif.
Cara penukaran barangpun tidak langsung bertemu dengan orangnya, melainkan barang-barang yang dibawa diletakkan di suatu tempat yang tersedia. Setelah barang mereka diambil dan di barter dengan barang yang dibutuhkan mereka.
Setelah yakin pengantar barang sudah tidak ada, maka barulah mereka mengambil barang yang menjadi milik mereka.
Kehidupan Modern Suku Punan
Dayak Berusu, adalah salah satu anak suku Dayak Punan. Tetapi Dayak yang satu ini sudah mengenal kehidupan modern.
Keberadaan mereka banyak di daerah pesisir, yaitu di daerah Sekatak Kabupaten Bulungan, mendiami sekitar 13 desa. Kehidupan mereka sangat berbeda dengan mereka yang masih primitif.
Mereka dalam keseharian senang melakukan pesta memakan daging buruan serta meminum minuman keras buatan mereka sendiri, yang terdiri dari bahan beras ketan dan tetumbuhan.
Acara minum dan pesta tersebut mereka lakukan pada waktu panen terlebih jika ada yang meninggal dunia.
Namun kebebasan bergaul sesama mereka tetap saja tak berubah. Di samping itu mereka juga tak pernah menerima masyarakat lain ke dalam kehidupan keluarga mereka. Walaupun masyarakat lain tersebut adalah orang orang dari Suku Dayak pula.
Acara minum dan pesta tersebut mereka lakukan pada waktu panen terlebih jika ada yang meninggal dunia.
Namun kebebasan bergaul sesama mereka tetap saja tak berubah. Di samping itu mereka juga tak pernah menerima masyarakat lain ke dalam kehidupan keluarga mereka. Walaupun masyarakat lain tersebut adalah orang orang dari Suku Dayak pula.
Sumber: wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar