Catatan Polem | Ferdian A Majni
Matahari meronta di batas langit timur. Semilir angin
memungut embun yang berlomba membasahi daun segala daun. Rinai embun semalam
juga masih lembap di atap gubuk tua itu. Aku masih dalam peraduan dengan posisi
bersujud. Lalu aku bangkit dan meninggalkan selimutku.
Setelah bapakku mati terlindas bus, aku berhenti sekolah
dan meneruskan kebiasaannya mencari uang. Sedangkan ibu kandungku sudah lama
meninggalkan bapak. Tatkala umurku masih 1 tahun, ia pergi bersama sopir bus yang
sering bapak tumpangi. Kabar terakhir yang kudengar dari orang-orang di terminal,
aku punya adik tiri. Mereka menetap di Sumatera Utara bersama sopir bus itu.
Sudah tujuh tahun aku tinggal di gubuk tua dekat terminal.
Setelah bapak mati, tak ada lagi anak-anak yang berkunjung ke sini. Biasanya
setiap musim kemarau, anak-anak jalanan di terminal akan datang dengan membawa potongan
bambu-bambu kecil, oleh bapakku mereka
diajari membuat layang-layangan. dan aku tak pernah merasa kesepian. Bahkan aku
tak pernah bertanya perihal keberadaan ibu. Hingga sehari menjelang ajalnya,
aku mengetahui kenyataan pahit itu.
Pagi ini aku akan menerima buku rapor sekolah. Bapak
tidak datang menemaniku, sejak subuh tadi ia sudah meninggalkan gubuk. Ia akan
kembali menjelang petang atau paling telat pukul 10 malam. Di sekolah,
kebanyakan siswa datang bersama orangtuanya. Mereka juga membawa pelbagai
makanan yang disantap bersama-sama menjelang penyerahan buku rapor. Sedangkan
aku datang bertangan hampa kecuali sebuah tas lusuh yang bergelantung
dipunggung.
Hingga nama terakhir di absen itu disebutkan, tak juga
terdengar panggilan namaku. Dari sudut ruangan itu aku masih berharap namaku
dipanggil dan berjalan ke depan menerima buku rapor yang berwarna merah. Tempat
yang begitu gaduh itu lamat-lamat mulai
hening.
“Qadria”. Ya, itu namaku, akhirnya giliran aku menerima
buku rapor itu. Namun di dalam ruangan ini hanya tersisa aku dan wali kelasku.
Yang lain sudah berpencar ke rumah masing-masing.
Perintah wali kelas, besok aku harus kembali ke sekolah
bersama bapak. buku raporku disita sementara, Aku tak bisa mengetahui hasil
ujianku. Maka aku diberikan sebuah amplop, di dalamnya terlihat selembar kertas
yang ditujukan pada bapak. aku juga sempat mengintip tulisan dan angka-angka
seperti yang ada di lampiran mata uang. Aku tak berani membukanya.
Hingga menjelang larut malam aku masih menunggu bapak,
mataku belum juga mengantuk. Kulirik amplop yang terletak di atas ranjang tidur
bapak. Ingin sekali membuka dan mengetahui isi surat itu tapi aku tak berani
melanggar amanah wali kelas agar terlebih dahulu diberikan kepada bapak.
Hari-hariku mulai terasa penat, terkungkung aku dalam
kesedihan yang melekat pada isi buku rapor dan surat untuk bapak itu. Suatu
pagi aku kembali membuka amplop itu. aku mencoba membaca isi surat di dalamnya,
aku lupa berapa kali sudah menjamah surat itu. Hingga aku bersungguh-sungguh
belajar membaca. Dengan mengeja-eja huruf segala huruf, akhirnya aku mengetahui
isi tulisan di dalamnya.
Aku terlalu lelah mengejar hari dalam sendirian. Malam
itu tatkala aku sudah terlelap. Bapak pulang menjelang pagi, ia menemukan
sebuah amplop tergeletak di ranjangnya, ia membaca seluruh isi dan sekelabat
meninggalkan tempatnya.
Bapak masuk ke kamarku. Ia menyelimuti tubuhku dan
mencium keningku untuk yang terakhir kalinya. Dengan mata menahan sedih dan
kantuk ia menyusuri jalanan lengang. Bapak harus melunasi tunggakan biaya
sekolahku yang mencapai ratusan ribu. Dan pihak sekolah memberi batas waktu
selama tiga hari, jikalau bapak gagal melunasinya aku akan dikeluarkan dari
sekolah.
Dengan hati remuk aku menyusuri jalan berdebu. Aku
mengambil barang-barang dagangan yang kutitipkan pada Bang Leman. Bergegas aku
menaiki sebuah bus yang hendak berangkat. Perlahan bus itu meninggalkan
terminal menuju ke arah timur.
“Aqua, kacang, aqua, kacang….” Teriakku berkali-kali di
dalam bus. Aku melayani beberapa pembeli yang terlihat akan pergi jauh sekali. Wajahku
mulai berpeluh, pendingin di dalam bus ini tak mampu menutupi lelah tubuhku. Aku
menoleh ke kaca depan bus ini ; Jakarta, aku akan turun di sana.
Setiba di Terminal Kota Medan, bus ini berhenti untuk
makan dan minum para penumpang, sementara itu aku menyusuri koridor-koridor bus
lainnya. Namun di salah satu bus aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya
yang terlihat menor. Wanita itu duduk di deretan paling depan. Lalu ia memanggilku
hendak membeli sebotol Aqua.
“Nak, minumannya satu” panggil wanita itu.
Aku melangkah menghampirinya. Tatkala aku melihat
wajahnya seakan aku sedang bercermin, ia sangat mirip dangan sketsa wajahku.
Sepertinya ia juga merasakan hal yang sama. Setelah mengambil bayarannya aku
cepat-cepat turun dari bus itu.
Aku ingin lari dari kenyataan ini, seperti terbangun dari
mimpi panjang tatkala mengetahui wanita itu adalah ibu kandungku. Orang yang telah
mencampakkan aku dan bapak. Bahkan aku begitu jijik melihat penampilannya. Tak
bisa kubayangkan kalau seandainya ia benar-benar ibuku.
***
Hari ini aku pergi melawat wanita yang mengaku ibu
kandungku itu, aku menemuinya di ruangan khusus rumah sakit ternama di Medan.
Sudah setahun ini kondisinya semakin buruk. Perasaanku begitu miris tatkala melihatnya;
bola matanya seakan menyembul keluar, rambutnya sudah dipangkas pendek sekali
dan dari kelaminnya bau busuk menyeruak ke udara hingga badan tirus itu hanya
menyisakan tulang yang terbalut kulit keriput.
Aku bersyukur wanita itu masih mengenaliku, ia tersenyum ke
arahku. Aku meraih tanganya dan menyalaminya. Tangan kirinya mengelus kepalaku,
ia tersedu-sedu sembari meminta maaf padaku. waktu itu ia terpaksa meninggalkan
aku dan bapak. Ia hanya tak ingin menularkan
penyakitnya pada bapak. Aku tak kuasa menahan tangis, pelan-pelan aku
memeluknya untuk yang pertama dan terakhir kali.
Banda Aceh, 01 Januari 2012 07:15 PM
0 komentar:
Posting Komentar