Oleh Ferdian A Majni
“Sepanjang sejarah Unsyiah baru kali ini memiliki guru besar perempuan,
Profesor Cut Zahri Harun dan Profesor Murniati adalah guru besar pertama yang
dimiliki Unsyiah,” kata Rektor Unsyiah Prof. Darni Daud, Senin 21 Mei 2011 lalu seperti diberitakan portal okezone.com
Berbicara tentang pendidikan. Dewasa ini, peran perempuan turut andil dalam kemajuan dunia pendidikan. Baiknya di Indonesia sendiri atau luar
negeri. Nah, dalam Peringatan Hari Perempuan Sedunia, yang selalu dikenang pada 8 Maret tiap tahunnya. Pun demikian, saya berkesempatan
mewawancarai seorang perempuan yang sangat peduli tehadap pendidikan, bahkan
sebagian hidupnya didedikasikan dalam bidang pendidikan.
Di gedung pascasarjana Unsyiah,
sosok perempuan paruh baya itu dengan ramah mempersilahkan saya. Dengan tutur
bahasa lembut, ia memperkenal diri, namanya Prof Dr Dra Murniati AR MPd. Saat
ini menjabat sebagai ketua Prodi S2 Magister Administrasi Pendidikan.
Walau usianya semakin lanjut,
aura kecantikan masih terlihat di wajahnya. Penampilannya sangat anggun dan
berwibawa, siapa sangka bahwa ia adalah peraih gelar profesor perempuan di
Unsyiah.
Ibu Mur, begitula ia sering di
sapa oleh mahasiswanya atau rekan sejawatnya. Berikut perjalanan pendidikan Ibu
Mur hingga meraih gelar profesor di Universitas Jantong Rakyat Aceh tersebut.
Ia lahir di Meulaboh pada 7 Mei
1960 lalu, namun kedua orangtuanya berasal dari Simeulue, sejak kecil hingga
remaja ia habiskan di kediamannya, mulai dari pendidikan sekolah dasar di SD
Muhammadiyah, SMP Negeri 1, hingga SPG Negeri Meulaboh.
Pertualangan berlanjut. Tatkala
remaja seusianya kala itu lebih memilih menikah, Mur memilih menundanya. Ia
rela mengejar mimpinya dulu hingga ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan.
Pada tahun 1980, ia resmi tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Administrasi
Pendidikan FKIP Unsyiah.
Saat menempuh pendidikannya di
Unsyiah, ia menemui belahan jiwanya. Mur mengakhiri masa lajangnya dengan
dipersunting oleh Dr Nasir Usman yang tak lain adalah kakak letingnya di
Unsyiah.
Buah cintanya dengan Nasir Usman
yang juga Wakil kepala sekolah Lab School itu dianugerahi dua orang anak, putra
pertamanya, Ilhamul Chairul sedang menyelesaikan semester akhirnya di Jurusan
Kedoktoran Gigi Fakultas Kedokteran Unsyiah dan putra bungsunya, Ichsanul
Basili masih menempuh pendidikan sekolah menengah atas di SMA Fatih School.
Selain mengajar mahasiswa S1 dan
S2 di FKIP Unsyiah, ia juga disibukan dengan kebiasaanya membaca, menulis, dan
memberikan seminar dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pendidikan.
Semasa sekolah, ia kerap meraih
prestasi yang membanggakan sekolahnya, pun kedua orangtuanya. Begitu juga kala
ia menempuh pendidikan di FKIP Unsyiah, ia acapkali meraih penghargaan sebagai
mahasiswa terpuji.
Pada tahun 1985, ia berserta
suaminya berangkat ke Bandung untuk menyelesaikan pendidikan S2 di IKIP Bandung
dan pendidikan S3 di UPI Bandung, di sana ia menempuh pendidikan dengan
predikat coumlaude.
Puncaknya adalah ketika ia meraih
persetasi yang sangat membanggakan Unsyiah, pada tanggal 1 Desember 2010,
melalui SK menteri Pendidikan ia resmi menjadi Profesor sekaligus menjadi
perempuan pertama di Unsyiah yang meraih gelar tersebut.
Selain itu, pada jabatan
fungsionalnya di Unsyiah, ia juga merupakan guru besar Administrasi pendidikan
FKIP Unsyiah.
Pencapainya itu bukan tanpa usaha
dan semangat pendidikan dalam dirinya, ia terlibat aktif pada setiap pelatihan
professional, seperti pertemuan pengelola pascasarjana di Bali, pengelolaan
Jurnal Ilmiah di Universitas Negeri Malang dan pendidikan tinggi beretika dan
berdaya mewujudkan perubahan hakiki di Universitas Mulawarman Kaltim.
Mengenai pendidikan, ia
berpedapat pada dasarnya manusia dilihat dari prilakunya. Dimana berprilaku
sesuai aturan yang ada pada rujukan ketentuan, baik dan buruknya harus
berdasarkan adat atau aturan yang berlaku maupun agama. Namun menurut etika
adalah aturan yag dilakukan setiap individu. Dalam hal ini pontensi seseorang yang
berpendidikan, maka dibagi menjadi 4 potensi, diantaranya individual, sosial,
susila,dan spiritual.
“Bagaimana saharusnya
pontensi-pontensi ini dapat dikembangkan lewat informasi yang kita dengar, atau
yang diberikan oleh orangtua, guru, dosen atau ligkungan. Semua harus mampu
memberikan kesadaran pada diri kita,” Ujarnya.
Begitu juga kemampuan untuk
bereksitensi, kemampuan untuk berkomunikasi. Maka pontensi yang ada pada diri
kita harus dikembangkan. “Seharusnya mahasiswa melakukan perihal yang berhubungan
dengan pendidikan bukan saja dilakukan di kampus, bisa juga di rumah dan di
lingkungan lain,” lanjutya.
“Mahasiswa seharusnya sudah
memiliki kematangan berpikir. Bertindak dan berprilaku, sebaiknya apa yang kita
pikirkan, apa yang kita katakan, apa yang kita buat harus terintergrasi” tutur
pemilik karya ilmiah Moral dan Etika Sebagai Sistem dan Perangkat Organisasi.
Menurut Ibu Mur, perkembagan
pendidikan sekarang ada sisi positif dan negatif. Dalam kontek perilaku, di
mana pada sisi berpakaian, seperti masa dulu, mahasiswi-mahasiswi belum
berjilbab, maka dibandingkan dengan generasi dulu dan sekarang, dalam kontek
prilaku dan berpakaian itu lebih hebat sekarang. "di mana kita lihat
generasi Aceh, baik siswa atau mahasiswa sudah berjilbab sekarang."
“Mahasiswa sekarang telah
memiliki pemahaman terhadap satu kondisi, mahasiswa mampu melakukan
penyaringan-penyaringan terhadap satu kondisi yang sesuai kondisi kehidupannya.
Baik adat istiadat dan agama,” ungkap peneliti Pemberdayaan Sekolah Menengah
Kejuruan Melalui Manajemen Stratejik di SMKN Banda Aceh.
"Mahasiswa harus melakukan
pemantapan dan harus mengoptimalisasi dari satu pemahaman yang mereka miliki,
karena dalam diri kita ada nafsu, akal, kemauan dan imitasi."
Dalam menunjang pendidikan, dalam
pandangannya pun sekarang pun teknologi lebih berkembang.
“Waktu masa Ibu, internet tidak
ada, sangat penting bagi generasi sekarang untuk mampu menyeleksi sumber
informasi yang ada,” sebut anggota penilai peneliti terbaik Unsyiah.
"Maka pendidikan itu adalah
usaha sadar yang dilakukan oleh pihak yang bertangung jawab, baik orangtua,
guru atau orang yang terlibat dalam masyarakat (tokoh masyarkat) yang memiliki
akses terhadap pertumbuhan pendidikan, baik dalam kontek pola pikir, prilaku,
maupun pola kreatifitas. Jadi dalam kontek pendidikan, semua itu tidak bisa
berdiri sendiri, sangat dipengaruhi oleh pengambilan kebijakan para politikal,
baik ditingkat sekolah dan universitas."
Oleh karena itu, lanjutnya,
pemeritah daerah dan pusat harus sama-sama bersinergi, sehingga kita tidak
saling menyalahkan.
"Perlu kita camkan bersama,
baik orangtua, guru dan dosen. setiap pihak harus berkontribusi terhadap
peran-peran yang kita mainkan. Sehingga nanti apa yang dilihat dirumah,
sekolah, kampus dan di masyarakat, semua kita mampu memberi warna-warna positif
untuk melakukan re-regenerasi, karena semua itu tidak bisa dilakukan satu pihak
atau dua pihak, tapi semua pihak harus terlibat."
Ia juga memesankan generasi Aceh
seharusya mampu melihat kemampuan dan pontensi-pontensi yang ada padanya dan
dikembangkan secara positif, sesuai dalam kondisi apa yang nyata.
“Dalam melakukan kegiatan, apapun
itu boleh tapi tidak lepas kontrol dari akar budaya. Karena orang Aceh itu
penuh dengan kasih sayang, kelembutan, saling toleransi sehingga dalam kontek
pendidikan tadi, bagaimana membuat orang berbudaya. Memiliki satu kebiasaan dan
harus kita pertahankan
itu, seperti kebiasaan nenek
moyang kita, memiliki sifat kejujuran, gotong royong, saling tegur sapa dan
saling mengingatkan,”ujar dosen pengajar mata kuliah Pengantar Manajemen
Pendidikan di FKIP Unsyiah.
Namun ada juga budaya yang harus
kita perbaiki, “misalnya seperti keunduri, tidak mungkin kita melaksanakan
kenduri tujuh hari tujuh malam dan tidak tidak perlu efuria juga karena kita
harus melihat terlebih dahulu dan kita pertimbangkan, karena itu ada yang perlu
kita pertahanakan dan ada yang perlu kita perbaiki bahkan ada yang perlu
dihilangkan, misalkan dulu dalam kontek pendidikan seks, masyarakat kita sangat
tabu mendengarnya, namun sekarang kita harus terbiasa memahami perihal
pendidikan seks, baik cara bergaul dalam menuntut ilmu dan jangan sampai kita
kehilangan harkat dan martabat,”jelas Ibu Mur yang juga peserta Simposium
Membagun Pendidikan Bangsa di ISPI Bandung.
Mengenai kepedulian pemerintah
sendiri, Murniati berpendapat pemerintah mulai peduli terhadap pendidikan,
seperti adanya beasiswa, pendirian berbagai asosiasi pendidikan, dan rekrutmen
dalam berbagai kegiatan, namun ada hal-hal yang perlu di optimalkan dan
dikembangkan.
“Seperti asosiasi universitas negeri
dan swasta harus bersinerji karena mereka adalah mitra dalam menunjang
keberhasilan pendidikan,”terang instruktur pada pelatihan calon kepala sekolah.
Sebagai guru besar di Unsyiah,
nantinya Murniati akan melakukan berbagai kegiatan, pendidikan, pengajaran dan
penulisan sesuia program yang ia geluti. Dalam berprilaku pun kita harus
menjalankannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku sehingga apa yang kita
katakan dapat memberi kontribusi nyata terhadap mahasiswa dan masyarakat dan
mampu berprilakau baik.
“Kita juga akan melakukan
penelitian yang menjadi data dan informasi dalam pengambilan keputusan dan
perbaikan pendidikan di masa mendatang,” tutup pemilik makalah Peningkatan Mutu
Kinerja Kepala Sekolah pada Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Pendidikan di
ISMAPI Sumatera Utara. []